Dunia dan segala isinya berkembang
sangat dinamis dan semakin kompleks. Menurut para peneliti, generasi saat ini
disebut milenial dan berada pada peradaban teknologi digital yang telah
berkembang sangat pesat dan sangat melek dengan internet. Mereka telah
berkenalan dengan internet sejak lahir dan menjadikan gawai (gadget)
sebagai sahabat baiknya. Dalam mendapatkan informasi generasi saat ini lebih
menyukai bentuk visual seperti kanal youtube yang mudah diserap dan
sangat kontra dengan kebiasaan membaca oleh generasi sebelumnya.
Mayoritas
orangtua generasi milenial sebenarnya tidak asing lagi dengan internet
dan perangkat digital lainnya hanya saja kemampuan mereka mengolah konten yang
tersedia tidak sehebat anak-anak mereka. Mudahnya mereka mendapatkan
informasi (tergantung kepada kuota internet) memang membantu orangtua dalam
menjelajah dunia namun berdampak buruk dalam perilaku sosial.
Anak adalah peniru. Hal ini
seringkali dilupakan. Membiarkan anak bersahabat erat dengan gawai lebih
daripada keluarga bisa jadi akar tumbuhnya generasi milenial pembangkang.
Akhir-akhir ini begitu banyak
fenomena sosial yang cukup membuat kita mengelus dada. Mulai dari seorang ibu
yang membunuh anaknya, suami membunuh istri, anak membunuh orangtua, kasus
kehamilan remaja di luar nikah, aksi pornografi yang melibatkan anak-anak
sampai kasus perselingkugan dan aborsi. Salah siapa?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud), Muhadjir Effendy mengungkapkan, tercapainya keberhasilan dalam
dunia pendidikan perlu melibatkan tiga komponen yang sama-sama penting, yaitu
sekolah, keluarga, dan masyarakat. Meskipun masih banyak keluarga yang
memandang sekolah adalah pihak yang bertanggungjawab dalam mempersiapkan masa
depan anak.
Mari kita kembali pada posisi awal
seorang anak. Anak adalah aset keluarga dan negara untuk konteks yang lebih
luas. Baik buruk atau berhasil tidaknya seorang anak sangat dipengaruhi oleh
'makanan' yang didapatkan dari keluarganya apalagi dalam konteks dunia mereka
saat ini.
Keluarga merupakan unit sosial
terkecil yang ada dalam sebuah masyarakat dan menjadi lembaga pendidikan
pertama dan pertama dalam membentuk generasi yang berkualitas. Pakem-pakem
benar atau salahnya dalam suatu masyarakat, agama dan negara akan diajarkan
orang tua kepada anaknya. Proses sosialisasi ini dimulai dengan proses belajar
adaptasi dan mengikuti setiap hal yang diajarkan oleh orang-orang sekitar
lingkungan keluarganya, seperti nilai-nilai sopan santun, adab, cara berfikir
yang nantinya akan menjadi jati diri dan tampak pada perilaku dan
tindakannnya.
Dari keluargalah segala sesuatu tentang pendidikan bermula.
Apabila salah dalam pendidikan awal maka peluang terjdinya distori pada diri
anak lebih tinggi. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan
berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Melalui lingkungan
keluarga inilah anak mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup
sehari-hari.
Oleh karena itu, peran orang tua
sangat berpengaruh dalam hal memberikan pengawasan dan pengendalian perilaku
anak sesuai dengan tata perilaku yang benar. Setiap keluarga harus memiliki
kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak
di dalam keluarga.
Tantangan Pendidikan di Era Kekinian
Kemajuan teknologi merambah
pada dunia pendidikan. Guru dan buku yang dahulunya sebagai pusat
informasi dalam dunia nyata telah digeser oleh sahabat mereka yang bernama
gawai yang menyediakan berbagai informasi dalam bentuk maya. Internet bukan
lagi sekedar alat kebutuhan hiburan semata. Hal ini sebenarnya memiliki nilai
positif baik kepada guru maupun anak didik. Khususnya para guru dapat membenahi
kemampuan mengajar yang tidak lagi bertumpu pada kecerdasan intelektual tetapi
juga kecerdasan sosial dan agama.
Sebagai peniru, contoh-contoh gaya
hidup dan informasi yang bertebaran di dunia maya dijadikan sebagai kebenaran
tanpa filter sehingga mereka merasa 'tidak berdosa' memamerkannya dalam
kehidupan sehari-hari meskipun sekalipun bertentangan dengan norma. Hal itu
terjadi karena rendahnya literasi tidak hanya pada anak tetapi juga masyarakat.
Literasi media adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan
mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan
agar pemirsa sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek)
tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.
Tahukah kita, Indonesia saat ini
masih belum merdeka mengentaskan buta aksara bahkan di kelas dunia Indonesia
berada di rangking 60 dari 61 negara pada survei minat baca. Hal ini sangat
kontra dimana prestasi Indonesia berada di urutan kelima dunia dan keempat pada
kawasan Asia sebagai pengguna internet. Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kominfo) menyebut 80% pengguna internet di Indonesia adalah remaja berusia 15-19 tahun.
Tantangan Orangtua di Era Kekinian
Perubahan sosial ekonomi dan
perkembangan teknologi juga berpengaruh pada pergeseran fungsi dan peran
keluarga. Kecenderungan proses berkeluarga saat ini lebih mekanis yang membuat
peran pengasuhan orangtua terdistorsi.
Saat ini orangtua tidak lagi sebagai
tempat bertanya, tempat berkonsultasi dan sumber nilai yang disebabkan oleh
minimnya teladan dan pengetahuan juga disebabkan oleh orangtua juga sibuk
dengan dunianya sendiri seperti berdagang atau berbisnis dan kegiatan lain
sehingga jarang bertemu dengan anak. Aktivitas orangtua meminimalisir proses
sosialiasasi dengan anak. Ketika anak menemukan kesulitan informasi baru, anak
lebih memilih gawai daripada bertanya kepada orangtua.
Selain itu, adanya lembaga non-keluarga
seperti penitipan anak, kelompok bermain, taman-kanak-kanak telah menyedot
sebagian kehidupan anal dari proose di dalam keluarga. Tidak jarang juga
orangtua yang super sibuk menyekolahkan anak di sekolah yang ada asramanya. Untuk
menebus rasa bersalah bahwa anak tetap mendapatkan keseluruhan pendidikan secara
utuh dan murni dan orangtua bisa bekerja di luar. Hal ini membuat orangtua
enggan menambah wawasan dan pengetahuan dalam hal ilmu pendampingan dan
pendidikan anak sehingga posisi keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama
dalam pengembangan pribadi mulai mengalami pergeseran posisi.
Peranan Orangtua dalam Pendidikan di
era kekinian
Keluarga merupakan pendidik yang
pertama dan utama serta memiliki peranan yang strategis dan berbagai studi
menunjukkan bahwa keterlibatan keluarga dalam pendidikan dapat meningkatkan
prestasi belajar anak.
Dalam menghasilkan generasi yang
berkualitas, pemerintah dalam hal ini kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
telah menuangkan tujuan pelibatan keluarga dalam pendidikan dalam UU kementrian
Kebudayaan RI no 30 tahun 2017 pasal 2, yaitu:
1. Meningkatkan kepedulian dan
tanggungjawab bersama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat
terhadap penyelenggaraan pendidikan
2. Mendorong penguatan pendidikan
karakter anak
3. Meningkatkan Kepedulian keluarga
terhdapa pendidikan anak
4. Membangun sinergitas antara
satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat
5. Mewujudkan lingkungan satuan
pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan
Tidak ada gunanya miris dan
geleng-geleng kepala apalagi mengelus dada melihat tingkah anak kekinian,
saatnya setiap keluarga khususnya orangtua menyadari kembali mandat yang
diterima sebagai orangtua.
1. SEDIAKAN WAKTU & BUAT JADWAL BERKUALITAS Bersama Anak (Quality time with Children)
Time is Money begitulah ungkapan bagaimana
berharganya waktu. Karena itu, tidak salah pada kenyataannya, dunia yang
kompleks ini juga membuat orangtua selalu sibuk dengan dunianya sendiri seperti
bekerja mengumpulkan uang sehingga kurang waktu berkumpul dengan keluarga.
Tumbuh kembang anak seringkali
dilimpahkan kepada baby sitter atau opa/oma atau lembaga non-keluarga. Hal ini membuat tergerusnya kedekatan (sense of belonging)
antara orangtua dan anak. Sayangnya, banyak orangtua menuntut anak supaya
progress pada sebuah level tetapi tidak menyadari andil yang dia perankan
supaya anak sampai pada level yang dimaksudkan. Akhirnya orangtua kecewa dan marah
lalu dibalas anak dengan hal yang sama bahkan dengan perilaku yang
ekstrim.
Saya lebih setuju orangtua yang MENYEDIAKAN dan bukan MELUANGKAN waktu untuk mengembangkan harmonisasi dan kasih sayang. Jikalau seorang anak adalah aset yang berharga melebihi emas tentulah harus dijaga dan dirawat. Untuk mempersiapkan seorang dewasa yang mandiri dan berkarakter membutuhkan waktu. Jangan biarkan anak-anak bungkuk karena teknologi tetapi menjadi generasi yang bergerak.
Saya lebih setuju orangtua yang MENYEDIAKAN dan bukan MELUANGKAN waktu untuk mengembangkan harmonisasi dan kasih sayang. Jikalau seorang anak adalah aset yang berharga melebihi emas tentulah harus dijaga dan dirawat. Untuk mempersiapkan seorang dewasa yang mandiri dan berkarakter membutuhkan waktu. Jangan biarkan anak-anak bungkuk karena teknologi tetapi menjadi generasi yang bergerak.
Buatlah jadwal anda bersama anak
sehingga perlahan merebut hatinya dan menggunkan gawai sebagai pelengkap. Dalam
kebersamaan itu adalah kesempatan bagi anak dan orangtua untuk saling terbuka
dan mendidik karakter, nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip dasar yang akan
menjadi pondasi sepanjang kehidupannya. Bisa dilakukan dengan sharing, menonton
bersama, belanja bersama, atau bermain game bersama. Tentulah hal ini tidak
dapat dilakukan sehari, seminggu, sebulan, atau setahun tetapi seumur hidup
karena sesungguhnya tidak ada orangtua yang sempurna dan mendapatkan sertifikat
kelulusan dan mendidik anak.
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu” (Amsal 22:6).
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu” (Amsal 22:6).
2. MEMBUKA DIRI Mengenai Dunia Kekinian
Seringkali saya menemukan orangtua
yang enggan membenahi dirinya lalu menyalahkan keadaan lalu marah karena anak
berperilaku negatif seperti tidak mandiri, tidak patuh, membangkakang, malas
belajar, mudah rewel, konsumtif hingga rendah diri. Hal tersebut bisa
menimbulkan persoalan anak bolos, drop
out atau tidak naik kelas, tidak mengerjakan PR, tidak membawa buku PR,
berkata jorok, tidak disiplin yang dinotabenekan apa yang terjadi pada anak
adalah apa yang terjadi di rumahnya.
Tidak dapat dipungkiri perbedaan
generasi membuat jarak atau gap antara anak dan orangtua dari sisi teknologi,
kebiasaan, keterbuakaa, dan kreativitas. Namun, berhadapan dengan anak kekinian
atau sering disebut zaman now seharusnya ditanggapi orangtua yang bersedia
menjadi orangtua zaman now. Mari menjadi orangtua yang lebih peduli dengan
pemikiran maupun pengetahuan teknologi yang selalu berinovasi. Orangtua harus
mengenal konten atau kanal yang mana yang baik dan membahayakan anak. Untuk
tontonan televisi, orangtua hanya menyediakan program yang bermanfaat atau
setidaknya mendampingi selama menonton.
Tanpa disadari saat orangtua
memperlakukan anak secara negatif karena tidak dapat mengendalikan anak justru
menjadi bukti bahwa orangtua harus ada bekal dalam mendidik anak.
Tahukah anda, mengasuh anak tanpa
bekal yang benar justru akan membuat Orangtua capek dan membebani hidup orangtua sendiri. Akibatnya, disadari atau tidak, sebagian besar harga diri anak justru hancur di rumah sendiri akibat cara mengekspresikan kasih sayang
orangtua yang tidak tepat: overdosis perhatian atau kurang perhatian.
Karena itu, orangtua perlu membuka
diri dengan mengikuti pelatihan seperti pelatihan orangtua PSPA (program
sekolah pengasihan anak) dan bagi yang juga memiliki gawai jangan hanya terpaku
pada layar dan malas membaca tetapi harus kritis setelah mendapatkan informasi.
Mari manfaatkannya untuk membenahi diri seperti pendidikan tentang parenting
lainnya yang bisa didapatkan secara online begitu juga terlibat dalam grup-grup
entah grup dengan guru/wali kelas ataupun sesama orangtua sehingga dapat saling
memantau perkembangan anak. Selain itu, di dunia maya, jadilah orangtua yang
terlibat dalam komite sekolah anak dengan demikian anak merasakan perhatian
orangtua.
3. Menjadi TELADAN & IDOLA
Siapa yang ingin anak yang taat
beragama? Siapa yang ingin melihat anak yang ramah dan sopan? Siapa yang ingin
melihat anak bertanggungjawab dan mandiri? Mari sebagai orangtua memberikan
contoh untuk ditiru sebelum menuntut mereka menjadi ini dan itu.
My Father is my mentor adalah workshop yang akhir-akhir sering
didengungkan guna menggugah peran orangtua khususnya bapak atau ayah terhadap
pendidikan anak dalam keluarga. Hal ini untuk menghindari adanya ruang fatherness
sebagai figure yang berperan dalam kehidupan seorang anak baik secara fisik
maupun psikologis.
Jikalau kita ingin anak yang saleh
dan cinta Allah, maka jadilah orangtua yang terus belajar dan menunjukkanya.
Mengasihi Allah bisa diperlihatkan orangtua dengan menjadi contoh yang saleh,
dengan mengkomitmenkan diri sendiri pada perintah-Nya, sehingga kita perlu
“mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila
engkau sedang duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila
engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah engkau juga mengikatkannya
sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan
haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu dan pada pintu
gerbangmu”(Ulangan 6:7-9). Kita harus mengajarkan anak-anak bahwa menyembah
Allah itu harus konstan, bukan hanya pada hari Minggu atau doa malam saja.
Penelitian
terhadap kerentanan keluarga dan survei well-being anak, ditemukan bahwa
seorang ayah yang memiliki anak dengan lebih dari satu pasangan akan
mempengaruhi kesehatan anak saat remaja dan penyimpangan perilaku, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Keberadaan ayah dan kesetiaan ayah untuk tidak
berbagi dengan anak dengan ibu yang lain, akan memberikan well-being pada diri
anak yang berujung pada kualitas kesehatannya.
Walaupun anak-anak belajar banyak hal melalui pengajaran langsung, mereka belajar
jauh lebih banyak dengan melihat tingkah laku kita sehari-hari. Inilah mengapa
sebabnya kita harus berhati-hati dalam segala hal yang kita lakukan.
Saya sangat terinspirasi dengan kisah Naufal Raziq, pada laman sahabat keluarga, remaja yang kini berusia 16 tahun asal Aceh yang berhasil menjadi penemu arus listrik dari kedondong pada 3 tahun yang lalu. Prestasi ini berkat kesediaan sang Ayah, Supratman yang melibatkan Naufal pada bidang yang sedang digelutinya mengenai elektronik dan pengembangan energi baru terbarukan. Keingintahuan Naufal sebagai praktik dari pelajaran IPA di sekolah membuat ayah-anak ini melakukan percobaan pada buah-buahan sebagai energi penghantar listrik dan mengembangkan energi medan elektromagnetik untuk pengganti bahan bakar kenderaan.
Percobaan mereka akhirnya menemukan bahwa kedondong dapat menjadi energi penghantar listrik. Karya keduanya mendapat apresiasi menjadi juara harapan I pada lomba Inovasi Teknologi Tepat Guna (TTG) tahun 2014 se-kota Langsa dan pada tahun berikutnya menjadi juara III sekaligus sebagai peserta unggulan pada TTG tingkat nasional. Prestasi mengagumkan membuka jalan pendidikan lebih tinggi dengan perolehan beasiswa dari kementrian ESDM, Agama bahkan sekolah Taruna Nusantara. Karyanya kini sudah dinikmati oleh warga Aceh bahkan negara lainpun sudah ada melirik inovasi ini.
Saya sangat terinspirasi dengan kisah Naufal Raziq, pada laman sahabat keluarga, remaja yang kini berusia 16 tahun asal Aceh yang berhasil menjadi penemu arus listrik dari kedondong pada 3 tahun yang lalu. Prestasi ini berkat kesediaan sang Ayah, Supratman yang melibatkan Naufal pada bidang yang sedang digelutinya mengenai elektronik dan pengembangan energi baru terbarukan. Keingintahuan Naufal sebagai praktik dari pelajaran IPA di sekolah membuat ayah-anak ini melakukan percobaan pada buah-buahan sebagai energi penghantar listrik dan mengembangkan energi medan elektromagnetik untuk pengganti bahan bakar kenderaan.
Percobaan mereka akhirnya menemukan bahwa kedondong dapat menjadi energi penghantar listrik. Karya keduanya mendapat apresiasi menjadi juara harapan I pada lomba Inovasi Teknologi Tepat Guna (TTG) tahun 2014 se-kota Langsa dan pada tahun berikutnya menjadi juara III sekaligus sebagai peserta unggulan pada TTG tingkat nasional. Prestasi mengagumkan membuka jalan pendidikan lebih tinggi dengan perolehan beasiswa dari kementrian ESDM, Agama bahkan sekolah Taruna Nusantara. Karyanya kini sudah dinikmati oleh warga Aceh bahkan negara lainpun sudah ada melirik inovasi ini.
4. Menjadi Mitra Guru yang PROAKTIF
Dalam membangun masa depan anak yang
berkarakter perlulah sinergitas antara orangtua dan guru di sekolah. Keduanya
adalah mitra sehingga harus ada komunikasi yang baik. Saya melihat belum semua
sekolah yang menyediakan ruang komunikasi antara guru dan orangtua sehingga
baik di rumah dan sekolah anak mengalami 'program' yang sama.
Mari menjadi orangtua yang aktif
berkomunikasi dengan guru dan turut mewujudkan program sekolah seperti Gerakan
Literasi sekolah untuk menumbuhkan minat membaca, Seorang orator dan
penulis dunia, Cicero meyatakan “a room without book like body without soul”.
Membaca buku berkualitas akan mempercepat roda penggerak agenda perubahan,
karena dalam buku yang dibaca tergambar isi dunia, letak, pelaku dengan segala
karekater yang melingkupinya.
Selain itu, orangtua juga harus rela
berkorban menahan diri pada program pengasuhan anak, yaitu Gerakan 1821 untuk
mengajarkan disiplin pada anak dalam menggunakan gawai hanya 3 jam, yaitu jam
18.00-21.00. Dengan demikian, kebiasaaan anak bersahabat dengan gawai akan
berkurang selain itu memberikan ruang bagi anak mengenal kegiatan lain. Proses
interaksi yang diterima anak dari keluarga inilah yang akan digunakan oleh anak
sebagai dasar untuk proses perkembangan selanjutnya di luar rumah.
Sebagai contoh yang sangat simple Speech
delay atau keterlambatan bicara pada anak, memang disebabkan oleh
beragam faktor. Untuk beberapa faktor tertentu, seperti kurangnya stimulasi, seorang anak bisa dibantu dengan terapi wicara yang banyak tersedia di rumah sakit dan
klinik tumbuh kembang anak. Meskipun demikian peran orang tua juga tidak kalah penting.
Menjadi orangtua merupakan pilihan hidup dan hampir dipastikan semua pasangan ingin memiliki buah hati sebagai penerus keluarga yang juga penerus bangsa. Generasi yang kuat dihasilkan oleh keluarga hebat dan keluarga tercapai bila orangtua mau terlibat dalam pendidikan anak.
Semoga 4 AKSI di atas dapat menjadi inspirasi bagi ayah-bunda dalam
upaya pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan di era kekinian dimana orangtua dan guru menjadi mitra sejati. Selamat berjuang! #sahabatkeluarga
https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/
https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4775
https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4776
https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4777
No comments:
Post a Comment