Monday, August 13, 2018

PELIBATAN KELUARGA PADA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI ERA KEKINIAN


Kerapkali kita setuju dengan ungkapan "rumput tetangga selalu lebih hijau" termasuk dengan prestasi dan kualitas anak dalam keluarga maupun pendidikan. Kita seringkali terkagum dan memuji prestsi anak dari keluarga lain atau sistem pendidikan negara lain namun masih enggan 'upgrade' diri sebagai orangtua dan pendidik maupun membenahi sistem pendidikan di negara sendiri. 
 
Dunia dan segala isinya berkembang sangat dinamis dan semakin kompleks. Menurut para peneliti, generasi saat ini disebut milenial dan berada pada peradaban teknologi digital yang telah berkembang sangat pesat dan sangat melek dengan internet. Mereka telah berkenalan dengan internet sejak lahir dan menjadikan gawai (gadget) sebagai sahabat baiknya. Dalam mendapatkan informasi generasi saat ini lebih menyukai bentuk visual seperti kanal youtube yang mudah diserap dan sangat kontra dengan kebiasaan membaca oleh generasi sebelumnya. 
Mayoritas orangtua generasi milenial sebenarnya tidak asing lagi  dengan internet dan perangkat digital lainnya hanya saja kemampuan mereka mengolah konten yang tersedia tidak sehebat anak-anak mereka. Mudahnya mereka mendapatkan informasi (tergantung kepada kuota internet) memang membantu orangtua dalam menjelajah dunia namun berdampak buruk dalam perilaku sosial.
Anak adalah peniru. Hal ini seringkali dilupakan. Membiarkan anak bersahabat erat dengan gawai lebih daripada keluarga bisa jadi akar tumbuhnya generasi milenial pembangkang.

Akhir-akhir ini begitu banyak fenomena sosial yang cukup membuat kita mengelus dada. Mulai dari seorang ibu yang membunuh anaknya, suami membunuh istri, anak membunuh orangtua, kasus kehamilan remaja di luar nikah, aksi pornografi yang melibatkan anak-anak sampai kasus perselingkugan dan aborsi. Salah siapa?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy mengungkapkan, tercapainya keberhasilan dalam dunia pendidikan perlu melibatkan tiga komponen yang sama-sama penting, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Meskipun  masih banyak keluarga yang memandang sekolah adalah pihak yang bertanggungjawab dalam mempersiapkan masa depan anak.

Mari kita kembali pada posisi awal seorang anak. Anak adalah aset keluarga dan negara untuk konteks yang lebih luas. Baik buruk atau berhasil tidaknya seorang anak sangat dipengaruhi oleh 'makanan' yang didapatkan dari keluarganya apalagi dalam konteks dunia mereka saat ini. 

Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang ada dalam sebuah masyarakat dan menjadi lembaga pendidikan pertama dan pertama dalam membentuk generasi yang berkualitas. Pakem-pakem benar atau salahnya dalam suatu masyarakat, agama dan negara akan diajarkan orang tua kepada anaknya. Proses sosialisasi ini dimulai dengan proses belajar adaptasi dan mengikuti setiap hal yang diajarkan oleh orang-orang sekitar lingkungan keluarganya, seperti nilai-nilai sopan santun, adab, cara berfikir yang nantinya akan menjadi jati diri dan tampak pada perilaku dan tindakannnya. 
Dari keluargalah segala sesuatu tentang pendidikan bermula. Apabila salah dalam pendidikan awal maka peluang terjdinya distori pada diri anak lebih tinggi. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Melalui lingkungan keluarga inilah anak mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup sehari-hari.
Oleh karena itu, peran orang tua sangat berpengaruh dalam hal memberikan pengawasan dan pengendalian perilaku anak sesuai dengan tata perilaku yang benar. Setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di dalam keluarga.

Tantangan Pendidikan di Era Kekinian
Kemajuan teknologi merambah pada dunia pendidikan.  Guru dan buku yang dahulunya sebagai pusat informasi dalam dunia nyata telah digeser oleh sahabat mereka yang bernama gawai yang menyediakan berbagai informasi dalam bentuk maya. Internet bukan lagi sekedar alat kebutuhan hiburan semata. Hal ini sebenarnya memiliki nilai positif baik kepada guru maupun anak didik. Khususnya para guru dapat membenahi kemampuan mengajar yang tidak lagi bertumpu pada kecerdasan intelektual tetapi juga kecerdasan sosial dan agama. 
Sebagai peniru, contoh-contoh gaya hidup dan informasi yang bertebaran di dunia maya dijadikan sebagai kebenaran tanpa filter sehingga mereka merasa 'tidak berdosa' memamerkannya dalam kehidupan sehari-hari meskipun sekalipun bertentangan dengan norma. Hal itu terjadi karena rendahnya literasi tidak hanya pada anak tetapi juga masyarakat. Literasi media adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses. 

Tahukah kita, Indonesia saat ini masih belum merdeka mengentaskan buta aksara bahkan di kelas dunia Indonesia berada di rangking 60 dari 61 negara pada survei minat baca. Hal ini sangat kontra dimana prestasi Indonesia berada di urutan kelima dunia dan keempat pada kawasan Asia sebagai pengguna internet. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebut 80% pengguna internet di Indonesia adalah remaja berusia 15-19 tahun.

Tantangan Orangtua di Era Kekinian
Perubahan sosial ekonomi dan perkembangan teknologi juga berpengaruh pada pergeseran fungsi dan peran keluarga. Kecenderungan proses berkeluarga saat ini lebih mekanis yang membuat peran pengasuhan orangtua terdistorsi. 

Saat ini orangtua tidak lagi sebagai tempat bertanya, tempat berkonsultasi dan sumber nilai yang disebabkan oleh minimnya teladan dan pengetahuan juga disebabkan oleh orangtua juga sibuk dengan dunianya sendiri seperti berdagang atau berbisnis dan kegiatan lain sehingga jarang bertemu dengan anak. Aktivitas orangtua meminimalisir proses sosialiasasi dengan anak. Ketika anak menemukan kesulitan informasi baru, anak lebih memilih gawai daripada bertanya kepada orangtua.
Selain itu, adanya lembaga non-keluarga seperti penitipan anak, kelompok bermain, taman-kanak-kanak telah menyedot sebagian kehidupan anal dari proose di dalam keluarga. Tidak jarang juga orangtua yang super sibuk menyekolahkan anak di sekolah yang ada asramanya. Untuk menebus rasa bersalah bahwa anak tetap mendapatkan keseluruhan pendidikan secara utuh dan murni dan orangtua bisa bekerja di luar. Hal ini membuat orangtua enggan menambah wawasan dan pengetahuan dalam hal ilmu pendampingan dan pendidikan anak sehingga posisi keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama dalam pengembangan pribadi mulai mengalami pergeseran posisi. 

Peranan Orangtua dalam Pendidikan di era kekinian
Keluarga merupakan pendidik yang pertama dan utama serta memiliki peranan yang strategis dan berbagai studi menunjukkan bahwa keterlibatan keluarga dalam pendidikan dapat meningkatkan prestasi belajar anak. 

Dalam menghasilkan generasi yang berkualitas, pemerintah dalam hal ini kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menuangkan tujuan pelibatan keluarga dalam pendidikan dalam UU kementrian Kebudayaan RI no 30 tahun 2017 pasal 2, yaitu: 
1. Meningkatkan kepedulian dan tanggungjawab bersama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan
2. Mendorong penguatan pendidikan karakter anak
3. Meningkatkan Kepedulian keluarga terhdapa pendidikan anak
4. Membangun sinergitas antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat
5. Mewujudkan lingkungan satuan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan

Tidak ada gunanya miris dan geleng-geleng kepala apalagi mengelus dada melihat tingkah anak kekinian, saatnya setiap keluarga khususnya orangtua menyadari kembali mandat yang diterima sebagai orangtua.

1. SEDIAKAN WAKTU & BUAT JADWAL BERKUALITAS Bersama Anak (Quality time with Children)
Time is Money begitulah ungkapan bagaimana berharganya waktu. Karena itu, tidak salah pada kenyataannya, dunia yang kompleks ini juga membuat orangtua selalu sibuk dengan dunianya sendiri seperti bekerja mengumpulkan uang sehingga kurang waktu berkumpul dengan keluarga.

Tumbuh kembang anak seringkali dilimpahkan kepada baby sitter atau opa/oma atau lembaga non-keluarga. Hal ini membuat tergerusnya kedekatan (sense of belonging) antara orangtua dan anak. Sayangnya, banyak orangtua menuntut anak supaya progress pada sebuah level tetapi tidak menyadari andil yang dia perankan supaya anak sampai pada level yang dimaksudkan. Akhirnya orangtua kecewa dan marah lalu dibalas anak dengan hal yang sama bahkan dengan perilaku yang ekstrim. 
 Saya lebih setuju orangtua yang MENYEDIAKAN dan bukan MELUANGKAN waktu untuk mengembangkan harmonisasi dan kasih sayang. Jikalau seorang anak adalah aset yang berharga melebihi emas tentulah harus dijaga dan dirawat. Untuk mempersiapkan seorang dewasa yang mandiri dan berkarakter membutuhkan waktu.  Jangan biarkan anak-anak bungkuk karena teknologi tetapi menjadi generasi yang bergerak. 
Buatlah jadwal anda bersama anak sehingga perlahan merebut hatinya dan menggunkan gawai sebagai pelengkap. Dalam kebersamaan itu adalah kesempatan bagi anak dan orangtua untuk saling terbuka dan mendidik karakter, nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip dasar yang akan menjadi pondasi sepanjang kehidupannya. Bisa dilakukan dengan sharing, menonton bersama, belanja bersama, atau bermain game bersama. Tentulah hal ini tidak dapat dilakukan sehari, seminggu, sebulan, atau setahun tetapi seumur hidup karena sesungguhnya tidak ada orangtua yang sempurna dan mendapatkan sertifikat kelulusan dan mendidik anak. 

"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu” (Amsal 22:6). 

2. MEMBUKA DIRI Mengenai Dunia Kekinian
Seringkali saya menemukan orangtua yang enggan membenahi dirinya lalu menyalahkan keadaan lalu marah karena anak berperilaku negatif seperti tidak mandiri, tidak patuh, membangkakang, malas belajar, mudah rewel, konsumtif hingga rendah diri. Hal tersebut bisa menimbulkan persoalan anak bolos, drop out atau tidak naik kelas, tidak mengerjakan PR, tidak membawa buku PR, berkata jorok, tidak disiplin yang dinotabenekan apa yang terjadi pada anak adalah apa yang terjadi di rumahnya.

Tidak dapat dipungkiri perbedaan generasi membuat jarak atau gap antara anak dan orangtua dari sisi teknologi, kebiasaan, keterbuakaa, dan kreativitas. Namun, berhadapan dengan anak kekinian atau sering disebut zaman now seharusnya ditanggapi orangtua yang bersedia menjadi orangtua zaman now. Mari menjadi orangtua yang lebih peduli dengan pemikiran maupun pengetahuan teknologi yang selalu berinovasi. Orangtua harus mengenal konten atau kanal yang mana yang baik dan membahayakan anak. Untuk tontonan televisi, orangtua hanya menyediakan program yang bermanfaat atau setidaknya mendampingi selama menonton.  
Tanpa disadari saat orangtua memperlakukan anak secara negatif karena tidak dapat mengendalikan anak justru menjadi bukti bahwa orangtua harus ada bekal dalam mendidik anak.
Tahukah anda, mengasuh anak tanpa bekal yang benar justru akan membuat Orangtua capek dan  membebani hidup orangtua sendiri. Akibatnya, disadari atau tidak, sebagian besar harga diri anak justru hancur di rumah sendiri akibat cara mengekspresikan kasih sayang orangtua yang tidak tepat: overdosis perhatian atau kurang perhatian.
Karena itu, orangtua perlu membuka diri dengan mengikuti pelatihan seperti pelatihan orangtua PSPA (program sekolah pengasihan anak) dan bagi yang juga memiliki gawai jangan hanya terpaku pada layar dan malas membaca tetapi harus kritis setelah mendapatkan informasi. Mari manfaatkannya untuk membenahi diri seperti pendidikan tentang parenting lainnya yang bisa didapatkan secara online begitu juga terlibat dalam grup-grup entah grup dengan guru/wali kelas ataupun sesama orangtua sehingga dapat saling memantau perkembangan anak. Selain itu, di dunia maya, jadilah orangtua yang terlibat dalam komite sekolah anak dengan demikian anak merasakan perhatian orangtua. 

3. Menjadi TELADAN & IDOLA
Siapa yang ingin anak yang taat beragama? Siapa yang ingin melihat anak yang ramah dan sopan? Siapa yang ingin melihat anak bertanggungjawab dan mandiri? Mari sebagai orangtua memberikan contoh untuk ditiru sebelum menuntut mereka menjadi ini dan itu. 

 My Father is my mentor adalah workshop yang akhir-akhir sering didengungkan guna menggugah peran orangtua khususnya bapak atau ayah terhadap pendidikan anak dalam keluarga.  Hal ini untuk menghindari adanya ruang fatherness sebagai figure yang berperan dalam kehidupan seorang anak baik secara fisik maupun psikologis. 

Jikalau kita ingin anak yang saleh dan cinta Allah, maka jadilah orangtua yang terus belajar dan menunjukkanya. Mengasihi Allah bisa diperlihatkan orangtua dengan menjadi contoh yang saleh, dengan mengkomitmenkan diri sendiri pada perintah-Nya, sehingga kita perlu “mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau sedang duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah engkau juga mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu dan pada pintu gerbangmu”(Ulangan 6:7-9). Kita harus mengajarkan anak-anak bahwa menyembah Allah itu harus konstan, bukan hanya pada hari Minggu atau doa malam saja.

Penelitian terhadap kerentanan keluarga dan survei well-being anak, ditemukan bahwa seorang ayah yang memiliki anak dengan lebih dari satu pasangan akan mempengaruhi kesehatan anak saat remaja dan penyimpangan perilaku, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keberadaan ayah dan kesetiaan ayah untuk tidak berbagi dengan anak dengan ibu yang lain, akan memberikan well-being pada diri anak yang berujung pada kualitas kesehatannya.
Walaupun anak-anak belajar banyak hal melalui pengajaran langsung, mereka belajar jauh lebih banyak dengan melihat tingkah laku kita sehari-hari. Inilah mengapa sebabnya kita harus berhati-hati dalam segala hal yang kita lakukan.  

Saya sangat terinspirasi dengan kisah Naufal Raziq, pada laman sahabat keluarga, remaja yang kini berusia 16 tahun asal Aceh yang berhasil menjadi penemu arus listrik dari kedondong pada 3 tahun yang lalu. Prestasi ini berkat kesediaan sang Ayah, Supratman yang melibatkan Naufal pada bidang yang sedang digelutinya mengenai elektronik dan pengembangan energi baru terbarukan. Keingintahuan Naufal sebagai praktik dari pelajaran IPA di sekolah membuat ayah-anak ini melakukan percobaan pada buah-buahan sebagai energi penghantar listrik dan mengembangkan energi medan elektromagnetik untuk pengganti bahan bakar kenderaan. 

Percobaan mereka akhirnya menemukan bahwa kedondong dapat menjadi energi penghantar listrik. Karya keduanya mendapat apresiasi menjadi juara harapan I pada lomba Inovasi Teknologi Tepat Guna (TTG) tahun 2014 se-kota Langsa dan pada tahun berikutnya menjadi juara III sekaligus sebagai peserta unggulan pada TTG tingkat nasional. Prestasi mengagumkan membuka jalan pendidikan lebih tinggi dengan perolehan beasiswa dari kementrian ESDM, Agama bahkan sekolah Taruna Nusantara. Karyanya kini sudah dinikmati oleh warga Aceh bahkan negara lainpun sudah ada melirik inovasi ini. 
 4. Menjadi Mitra Guru yang PROAKTIF 
Dalam membangun masa depan anak yang berkarakter perlulah sinergitas antara orangtua dan guru di sekolah. Keduanya adalah mitra sehingga harus ada komunikasi yang baik. Saya melihat belum semua sekolah yang menyediakan ruang komunikasi antara guru dan orangtua sehingga baik di rumah dan sekolah anak mengalami 'program' yang sama. 
Mari menjadi orangtua yang aktif berkomunikasi dengan guru dan turut mewujudkan program sekolah seperti Gerakan Literasi sekolah untuk menumbuhkan minat membaca,  Seorang orator dan penulis dunia, Cicero meyatakan “a room without book like body without soul”. Membaca buku berkualitas akan mempercepat roda penggerak agenda perubahan, karena dalam buku yang dibaca tergambar isi dunia, letak, pelaku dengan segala karekater yang melingkupinya.  

Selain itu, orangtua juga harus rela berkorban menahan diri pada program pengasuhan anak, yaitu Gerakan 1821 untuk mengajarkan disiplin pada anak dalam menggunakan gawai hanya 3 jam, yaitu jam 18.00-21.00. Dengan demikian, kebiasaaan anak bersahabat dengan gawai akan berkurang selain itu memberikan ruang bagi anak mengenal kegiatan lain. Proses interaksi yang diterima anak dari keluarga inilah yang akan digunakan oleh anak sebagai dasar untuk proses perkembangan selanjutnya di luar rumah.
Sebagai contoh yang sangat simple Speech delay atau keterlambatan bicara pada anak, memang disebabkan oleh beragam faktor. Untuk beberapa faktor tertentu, seperti kurangnya stimulasi, seorang anak bisa dibantu dengan terapi wicara yang banyak tersedia di rumah sakit dan klinik tumbuh kembang anak.  Meskipun demikian peran orang tua juga tidak kalah penting.

Menjadi orangtua merupakan pilihan hidup dan hampir dipastikan semua pasangan ingin memiliki buah hati sebagai penerus keluarga yang juga penerus bangsa. Generasi yang kuat dihasilkan oleh keluarga hebat dan keluarga tercapai bila orangtua mau terlibat dalam pendidikan anak. 

Semoga 4 AKSI di atas dapat menjadi inspirasi bagi ayah-bunda dalam upaya pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan di era kekinian dimana orangtua dan guru menjadi mitra sejati. Selamat berjuang! #sahabatkeluarga 


https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/

https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4775
https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4776
https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4777

No comments:

Post a Comment