Thursday, September 19, 2019

RASA MENDUA DUNIA


"Dengan berprasangka baik saja, hati kau masih ketar-ketir memendam duga, menyusun harap, apalagi dengan prasangka negatif, tambah kusut lagi perasaan kau.” – TL


“Mas, ngaku aja. Denil itu anakmu, kan?”

“Diam kamu. Jangan sembarangan bicara!”

“Sampai kapan kamu menutupinya, hah?”

Aku menangis sesenggukan di sudut kamar. Merasa bodoh. Merasa kalah. Tidak rela dimadu. Berbagi suami.  

Minggu lalu seorang perempuan bersama seorang batita, seumuran Kay datang bertamu. Ia meminta hak sama. Mengaku istri Rafa. 
***

“Ma! Cebok! Ma...!”

Seketika aktivitasku terhenti. Cepat-cepat menuju toilet. Kay cemberut. Bajunya basah. Segera kucebok dan ganti baju. Senyumnya kembali merekah. 

“Main di sini saja ya sayang,” pintaku.

 Kudorong keranjang mainannya mendekati dapur. Beberapa menit aku sibuk di area wastafel. 
Kulirik jam di dinding. Sepuluh menit menuju jam sebelas. Sebentar lagi harus menjemput Kee dari sekolah.  Kuseka keringat ke lengan kaos sambil mengepel lantai. Ekor mataku mengawasi Kay dari kejauhan. 

Ini tahun kedua kujalani sebagai ibu rumah tangga penuh waktu. Dulu aku punya Mayang, asisten rumah tangga. Selain rajin, anak-anak juga betah dengannya. Aku merasa aman meninggalkan rumah. Apalagi mama selalu berkunjung di setiap akhir pekan. 

Saat itu karirku sedang di puncak. Hampir saban hari aku bekerja dua belas jam. Mas Rafa juga sering dinas ke luar kota. Demi memastikan kondisi Kee dan Kay, kami melakukan video call. Sesekali mengambil cuti panjang dan liburan bersama anak-anak. 

Suatu kali Mayang pamit, cuti lebaran. Di ujung telepon dia melapor tidak kembali lagi. Seorang juragan tanah melamarnya.

Semuanya tampak berjalan baik. Suasana kantor sangat menggairahkan. Hanya saja, tidak tega melihat mama keletihan menjaga kedua anakku. 

Aku merutuk. Dua bulan kemudian, kuputuskan berhenti bekerja. Mas Rafa menawarkan untuk mengambil ART dari yayasan. Aku menolak. Dia mengalah.

Hari berganti waktu. Aku semakin asik aja dengan dunia baruku. Capek fisik? Iya pasti dong. Rumah rapi hanya saat bocah tidur. 

Namun, aku puas bisa menerapkan ilmu parenting sewaktu kuliah di Belanda. Anak-anak pun terawat dan sehat. Di sela-sela waktu kuaktifkan lagi toko online yang pernah kurintis.  Uang tetap mengalir meski kerja pakai daster. 

“Honey, Mayang akan bekerja lagi. Dia datang besok.”

“Mayang? Kok hubungi Mas, bukan aku?”

“Iya kebetulan ketemu ibunya dan cerita. Kasihan dia.”

Aku pun bertemu Mayang. Ia tidak sendirian. Bersamanya seorang batita tampan, Denil namanya.  Kisah pedih hidup mereka menawar nuraniku. Mayang sudah kuanggap sebagai adikku. Kami pun tinggal bersama sambil merawat mama, beliau terkena stroke. 

Ada rencana kembali ngantor. Niat ini kuurungkan. Entah mengapa, semakin hari  aku curiga dengan perlakuan mas Rafa kepada Mayang dan anaknya. Aku benar-benar parno. 

Apakah Mayang dan mas Rafa pernah ada affair? Apakah Mayang pulang karena dihamili?

Aku kepikiran terus. Pernah sampai bertengkar hebat dengan mas Rafa. Mayang juga. 

“Opa! Opa!” anak-anak kegirangan menyambut papa. 

Papa memeluk kedua cucunya.   

Aku memperkenalkan Denil kepada papa. Beliau sudah kenal Mayang. Papa memeluk Denil juga. Kulihat Mayang tersenyum. Aku hanya ingin keluarga besar bisa menerima kehadiran Mayang dan anaknya. 

Mayang menghampiriku. Berbisik sebentar. Berdua kami berjalan menuju ruang keluarga. Tampak mas Rafa, papa, dan Dokter Hartono, psikiater sahabat papa sedang menungguku.

Aku kikuk. Merasa baik-baik saja.  Kuberbalik, menghindar. Sayang, Mayang dan mas Rafa menahan tubuhku. 

Lenganku merasakan sengatan panas. Perlahan pandanganku mengabur. Aku jijik mendapati senyuman istri baru mas Rafa.

Sumber: Internet



*Diikutsertakan dalam pelatihan menulis Bagi Indonesia (BI)

WHERE'S MY MONEY, OH!



Sumber: Internet


Nindy sedikit membungkuk. Pelan-pelan menyibak gorden putih. Matanya liar menyapu area kamar VVIP, RSA Bunda Internasional. Lega. Tiada siapa-siapa. 

“Ya Allah, hamba butuh delapan puluh juta rupiah. Kabulkanlah,” ia merapal doa di bibir ranjang Kalandra.    

“Tolonglah, Mi. Pasti  kutransfer.”

“Jangan macam-macam. Bayar bunganya dua puluh lima persen. Hubungilah si Toyib!” 

Seminggu opname, Kalandra masih terbaring lemah. Sesekali mengingau. Wajahnya pucat. Selang infus tersambung ke tangan kirinya. Nindy mengelus lembut tangan mungil itu. 

Hari itu Rabu. Nama Ibu Mira-wali kelas Kalandra-terpampang di layar selponnya. Ia panik. Kalandra pingsan di sekolah. Keduanya langsung tancap gas menuju IGD RSA Bunda Internasional.  

"Mama…..!” jerit Kalandra saat jarum infus tertancap. Begitu pula sewaktu pengambilan sampel darah. Nindy memeluknya. Ikutan menangis. Diagnosa dokter Kalandra mengalami anemia.  

Nindy di ruang tunggu. Ia sudah berhitung. Uang yang ada tidak cukup. Untung saja, penampilannya meyakinkan. Kalandra pun masuk ruangan rawat inap. Pupuslah rencana membayar cicilan arisan. Bang Toyib pasti mengejarnya.

Keuangannya seret sejak sporing ke apartemennya. Diam-diam grup arisan sosialita ditinggalkan. Mami Ajeng, sang bandar murka. Cicilannya macet. Ia harus mengobral beberapa koleksi mewahnya.

 “Nindy bengak!” ia mengutuk diri. Andai saja ia setuju pembuatan kartu kesehatan untuk kedua anaknya di tahun lalu. Demi gengsi, ia malah berburu Hermes Birkin terbaru. 

Keluarga bergantian menjaga. Soal biaya dirahasiakan. Rafael belum tiba. Ia bersama Keenan mengikuti pelatihan robotickids. Masalahnya dengan mami juga rahasia bagi Rafael. 

Kreeeeeek….! Nindy melompat. Sambil mengurut dada ia mencoba tersenyum. 

“Bu, silahkan ke ruangan admin,” suster mengingatkan. 
Nindy mengangguk.  

Lunglai ia keluar dari ruangan admin. Otaknya berpikir keras. Bagaimana mendapatkan puluhan juta rupiah secepatnya. 

Matanya terbelalak. Kamar Kalandra terbuka. Jantungnya berdegup kencang. Lututnya lemas. 

“Mati aku! Bang Toyib!” pekiknya.  

Tiba-tiba semua gelap. Terdengar suara-suara menggema. Tubuhnya ringan melayang ke awan biru bercampur putih. Dari kejauhan dilihatnya Keenan dan Kalandra meraung memanggil namanya. Rafael bersimpuh, mendekap bingkai fotonya. Rasanya nyata. “Apakah aku sudah mati?” pikirnya.  Air matanya jatuh. 

Perlahan tubuhnya mendekati kedua putranya. Dipeluknya mereka. Sekuat tenaga ia berbisik kepada Allah, “Aku belum ingin pulang.” 

Detik itu juga suara-suara semakin jelas terdengar. Perlahan Nindy membuka mata. Tampak perawat dan dokter tersenyum. Ada mama memeluk Keenan sementara Rafael menenangkan Kalandra. 

 “Ma...ma..” Keenan terisak-isak.     
 “Alhamdulillah! Sayang, istirahatlah,” Rafael bersuara. 

Nindy terdiam.

“Aku sudah temui mami. Hutangmu sudah dibayar lunas,” tambahnya. 
Nindy menangis. Rafael memeluknya. 

Kumandang takbir di televisi menambah haru. Allah menyayanginya. Permohonan untuk puluhan juta rupiah digantiNya dengan kesempatan bertobat. Sungguh, tidak ternilai. Nindy berjanji akan membahagiakan keluarga. Insya Allah!

NB:
Sporing: melarikan diri, pergi dari rumah 
Bongak/Bengak: Bodoh
(Bahasa Medan)

Diikutsertakan dalam pelatihan menulis Bagi Indonesia (BI)

HIDUP TIDAK SERIBET OREO..




Sumber: Internet
 Dua lelaki tengah menyeruput kopi racikan kok tong Siantar. Kepulan asap rokok membubung bersama angan-angan. Rafael kembali mengapit cerutu Kuba.

“Kay, ayah mendukungmu menjadi pesepak bola. Hanya…,” kalimatnya tertahan. 

“Kamu atau Keenan harus meneruskan bisnis kita.”

“Aku tidak bisa, Yah.” 

“Bujuklah Keenan setiba di Jakarta. Sampai ia mau!” 

Kalandra menggangguk. 

Rafael membolak-balikkan tiga lembar kertas folio. Tertera sepuluh nama SMA sesuai rayon sekolah anaknya. Mengenai Kalandra, aman. Ia sedang fokus berlatih di sekolah bola Liverpool Academy. Bulan depan laga perdananya.
Rafael pusing. Tidak ingin Keenan menolak sekolah pilihannya. Punggungnya menyandar. Seketika, kursi goyang mengayun.

Terbayang tiga puluh tahun lalu. Kampungnya, Nagori Harapan hanya punya SD inpres. Tiga ruang kelas dipakai bergantian. Sekolah tingkat SMP dan SMU berada di Kota Siantar. Sekitar satu jam ditempuh sepeda ayahnya. Sekolah yayasan Katolik tidak begitu jauh. Namun, SPP-nya lebih mahal daripada segantang beras. 

Suatu kali ayah mengajaknya ke kota. Ia masih kelas lima. Libur selama tiga hari. Murid kelas enam sedang ujian akhir. Sebelum matahari meninggi mereka berangkat. Rafael duduk di boncengan. Tangannya meremas kemeja ayah. Dia senang bisa bertanya ini itu sepanjang perjalanan.

Setibanya di Jalan Merdeka, mereka bersantap bakmie Siantar, langganan keluarga. Enaaak kali rasanya. 

“Ganda, kutitip adikmu ya. Om mau ke Pajak Horas,” pesan ayah pada seseorang. 

“Ashiappp!” balasnya tertawa.

“Itu anak om Hercules,” ayah menjelaskan. 

Keningnya berkerut. Teringat seseorang bertampang sangar namun hobi memasak. Rupanya hobinya mendulang rupiah. Ia membuka kedai pangsit. Terkabar sudah meninggal saat bentrokan antar preman. Kedai itu semakin laris sejak dijalankan oleh anaknya.

Pengunjung masih ramai. Kepulan asap memenuhi ruangan. Rafael keluar. Mencari angin. Ia menatap gedung SMPN-1. Hanya puluhan langkah ke sebelah kiri. Terbayang dua tahun lagi ia bersekolah di sana. 

“Nem-mu harus tinggi dek! Baru bisa bersekolah di situ.” sapa penjaga parkir. 

“Lu musti bersekolah sampai universitas. Besar nanti hidup lu tidak akan ribet.“ Ganda menimpali sambil mengelap meja. 

Sejak itu, Rafael bertekad bersekolah sampai sarjana dan menjadi orang sukses. 

Usahanya berhasil. Ia peraih NEM SD tertinggi. Terbayanglah akan bersekolah di kota.
Sayang, mimpinya buyar. Orangtuanya memohon  keringanan biaya kepada pengurus yayasan Katolik. 

Ayah tidak sanggup menggantikan tugasnya untuk merawat delapan ternak babi mereka. Tiga baru partus. Hasil penjualan babilah penopang  keluarganya. Meskipun kecewa, ia tetap patuh. 

Kembali mengukir prestasi. Ia masuk sekolah unggulan, SMU Plus di Raya. Sebelum pengumuman kelulusan, sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dari Jakarta menawarkan beasiswa sampai tamat. Orangtuanya sangat  bangga. Anaknya menjadi sarjana pertama di Nagori Harapan. 

Ia nekat merintis bisnis furnitur di kota metropolitan. Dulu jatuh bangun, kini Asli Furnitur terkenal sampai ke mancanegara. Ia berharap kelak satu cabang ada di Siantar. 

“Aku memilih SMK Robotica. Nantinya aku akan membuka sekolah robotic.”

“No way! Pilihan ayah pasti cocok untukmu. Sudah kubilang bisnis Asli Furnitur ini sangat pen...ting! Mati-matian kubangun. Cuma kamu harapanku meneruskannya. Mengerti?”

“A….ku tidak mau!”

Plakkk! 

Keenan meringis. Hatinya sangat terluka. Ia mengurung diri berhari-hari. Makanan pun diantarkan ke kamarnya.  

Seminggu kemudian, TV plasma menayangkan “Anak seorang pengusaha furnitur terkenal Jakarta tewas gantung diri.”

Keenan bergidik. “Loak kalilah kau, kawan!” makinya. Sepotong lappet langsung ditelan. 


   
NB: 
Loak = bodoh (bhs Batak)

Sumber: Internet


Mohon maaf jikalau ada kesamaan nama atau lokasi pada tulisan ini. Diikutsertakan dalam grup menulis Bagi Indonesia (BI)