"Dengan berprasangka baik saja, hati kau masih ketar-ketir memendam duga, menyusun harap, apalagi dengan prasangka negatif, tambah kusut lagi perasaan kau.” – TL
“Mas, ngaku aja. Denil itu anakmu, kan?”
“Diam kamu. Jangan sembarangan bicara!”
“Sampai kapan kamu menutupinya, hah?”
Aku menangis sesenggukan di sudut kamar. Merasa bodoh.
Merasa kalah. Tidak rela dimadu. Berbagi suami.
Minggu lalu seorang perempuan bersama seorang batita,
seumuran Kay datang bertamu. Ia meminta hak sama. Mengaku istri Rafa.
***
“Ma! Cebok! Ma...!”
Seketika aktivitasku terhenti. Cepat-cepat menuju toilet.
Kay cemberut. Bajunya basah. Segera kucebok dan ganti baju. Senyumnya kembali
merekah.
“Main di sini saja ya sayang,” pintaku.
Kudorong keranjang mainannya mendekati dapur. Beberapa
menit aku sibuk di area wastafel.
Kulirik jam di dinding. Sepuluh menit menuju jam sebelas.
Sebentar lagi harus menjemput Kee dari sekolah. Kuseka keringat ke lengan
kaos sambil mengepel lantai. Ekor mataku mengawasi Kay dari kejauhan.
Ini tahun kedua kujalani sebagai ibu rumah tangga penuh
waktu. Dulu aku punya Mayang, asisten rumah tangga. Selain rajin, anak-anak
juga betah dengannya. Aku merasa aman meninggalkan rumah. Apalagi mama selalu
berkunjung di setiap akhir pekan.
Saat itu karirku sedang di puncak. Hampir saban hari aku
bekerja dua belas jam. Mas Rafa juga sering dinas ke luar kota. Demi memastikan
kondisi Kee dan Kay, kami melakukan video call. Sesekali mengambil cuti panjang
dan liburan bersama anak-anak.
Suatu kali Mayang pamit, cuti lebaran. Di ujung telepon dia
melapor tidak kembali lagi. Seorang juragan tanah melamarnya.
Semuanya tampak berjalan baik. Suasana kantor sangat
menggairahkan. Hanya saja, tidak tega melihat mama keletihan menjaga kedua
anakku.
Aku merutuk. Dua bulan kemudian, kuputuskan berhenti
bekerja. Mas Rafa menawarkan untuk mengambil ART dari yayasan. Aku menolak. Dia
mengalah.
Hari berganti waktu. Aku semakin asik aja dengan dunia
baruku. Capek fisik? Iya pasti dong. Rumah rapi hanya saat bocah tidur.
Namun, aku puas bisa menerapkan ilmu parenting sewaktu
kuliah di Belanda. Anak-anak pun terawat dan sehat. Di sela-sela waktu
kuaktifkan lagi toko online yang pernah kurintis. Uang tetap mengalir
meski kerja pakai daster.
“Honey, Mayang akan bekerja lagi. Dia datang besok.”
“Mayang? Kok hubungi Mas, bukan aku?”
“Iya kebetulan ketemu ibunya dan cerita. Kasihan dia.”
Aku pun bertemu Mayang. Ia tidak sendirian. Bersamanya
seorang batita tampan, Denil namanya. Kisah pedih hidup mereka menawar
nuraniku. Mayang sudah kuanggap sebagai adikku. Kami pun tinggal bersama sambil
merawat mama, beliau terkena stroke.
Ada rencana kembali ngantor. Niat ini kuurungkan. Entah
mengapa, semakin hari aku curiga dengan perlakuan mas Rafa kepada Mayang
dan anaknya. Aku benar-benar parno.
Apakah Mayang dan mas Rafa pernah ada affair? Apakah Mayang
pulang karena dihamili?
Aku kepikiran terus. Pernah sampai bertengkar hebat dengan
mas Rafa. Mayang juga.
“Opa! Opa!” anak-anak kegirangan menyambut papa.
Papa memeluk kedua cucunya.
Aku memperkenalkan Denil kepada papa. Beliau sudah kenal
Mayang. Papa memeluk Denil juga. Kulihat Mayang tersenyum. Aku hanya ingin
keluarga besar bisa menerima kehadiran Mayang dan anaknya.
Mayang menghampiriku. Berbisik sebentar. Berdua kami
berjalan menuju ruang keluarga. Tampak mas Rafa, papa, dan Dokter Hartono,
psikiater sahabat papa sedang menungguku.
Aku kikuk. Merasa baik-baik saja. Kuberbalik,
menghindar. Sayang, Mayang dan mas Rafa menahan tubuhku.
Lenganku merasakan sengatan panas. Perlahan pandanganku
mengabur. Aku jijik mendapati senyuman istri baru mas Rafa.
![]() |
Sumber: Internet |
*Diikutsertakan dalam pelatihan menulis Bagi Indonesia (BI)