![]() |
Sumber: Internet |
Dua lelaki tengah menyeruput kopi racikan kok tong Siantar.
Kepulan asap rokok membubung bersama angan-angan. Rafael kembali mengapit
cerutu Kuba.
“Kay, ayah mendukungmu menjadi pesepak bola. Hanya…,”
kalimatnya tertahan.
“Kamu atau Keenan harus meneruskan bisnis kita.”
“Aku tidak bisa, Yah.”
“Bujuklah Keenan setiba di Jakarta. Sampai ia mau!”
Kalandra menggangguk.
Rafael membolak-balikkan tiga lembar kertas folio. Tertera
sepuluh nama SMA sesuai rayon sekolah anaknya. Mengenai Kalandra, aman. Ia sedang fokus berlatih di sekolah
bola Liverpool Academy. Bulan depan laga perdananya.
Rafael pusing. Tidak ingin Keenan menolak sekolah pilihannya. Punggungnya menyandar. Seketika, kursi goyang mengayun.
Terbayang tiga puluh tahun lalu. Kampungnya, Nagori Harapan
hanya punya SD inpres. Tiga ruang kelas dipakai bergantian. Sekolah tingkat SMP
dan SMU berada di Kota Siantar. Sekitar satu jam ditempuh sepeda ayahnya.
Sekolah yayasan Katolik tidak begitu jauh. Namun, SPP-nya lebih mahal daripada
segantang beras.
Suatu kali ayah mengajaknya ke kota. Ia masih kelas lima.
Libur selama tiga hari. Murid kelas enam sedang ujian akhir. Sebelum matahari meninggi mereka berangkat. Rafael duduk di
boncengan. Tangannya meremas kemeja ayah. Dia senang bisa bertanya ini itu
sepanjang perjalanan.
Setibanya di Jalan Merdeka, mereka bersantap bakmie Siantar,
langganan keluarga. Enaaak kali rasanya.
“Ganda, kutitip adikmu ya. Om mau ke Pajak Horas,” pesan
ayah pada seseorang.
“Ashiappp!” balasnya tertawa.
“Itu anak om Hercules,” ayah menjelaskan.
Keningnya berkerut. Teringat seseorang bertampang sangar
namun hobi memasak. Rupanya hobinya mendulang rupiah. Ia membuka kedai pangsit.
Terkabar sudah meninggal saat bentrokan antar preman. Kedai itu semakin laris
sejak dijalankan oleh anaknya.
Pengunjung masih ramai. Kepulan asap memenuhi ruangan.
Rafael keluar. Mencari angin. Ia menatap gedung SMPN-1. Hanya puluhan langkah
ke sebelah kiri. Terbayang dua tahun lagi ia bersekolah di sana.
“Nem-mu harus tinggi dek! Baru bisa bersekolah di situ.”
sapa penjaga parkir.
“Lu musti bersekolah sampai universitas. Besar nanti hidup
lu tidak akan ribet.“ Ganda menimpali sambil mengelap meja.
Sejak itu, Rafael bertekad bersekolah sampai sarjana dan
menjadi orang sukses.
Usahanya berhasil. Ia peraih NEM SD tertinggi. Terbayanglah
akan bersekolah di kota.
Sayang, mimpinya buyar. Orangtuanya memohon keringanan
biaya kepada pengurus yayasan Katolik.
Ayah tidak sanggup menggantikan tugasnya untuk merawat
delapan ternak babi mereka. Tiga baru partus. Hasil penjualan babilah
penopang keluarganya. Meskipun kecewa, ia tetap patuh.
Kembali mengukir prestasi. Ia masuk sekolah unggulan, SMU
Plus di Raya. Sebelum pengumuman kelulusan, sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
dari Jakarta menawarkan beasiswa sampai tamat. Orangtuanya sangat bangga.
Anaknya menjadi sarjana pertama di Nagori Harapan.
Ia nekat merintis bisnis furnitur di kota metropolitan. Dulu
jatuh bangun, kini Asli Furnitur terkenal sampai ke mancanegara. Ia berharap
kelak satu cabang ada di Siantar.
“Aku memilih SMK Robotica. Nantinya aku akan membuka sekolah
robotic.”
“No way! Pilihan ayah pasti cocok untukmu. Sudah kubilang
bisnis Asli Furnitur ini sangat pen...ting! Mati-matian kubangun. Cuma kamu
harapanku meneruskannya. Mengerti?”
“A….ku tidak mau!”
Plakkk!
Keenan meringis. Hatinya sangat terluka. Ia mengurung diri berhari-hari.
Makanan pun diantarkan ke kamarnya.
Seminggu kemudian, TV plasma menayangkan “Anak seorang
pengusaha furnitur terkenal Jakarta tewas gantung diri.”
Keenan bergidik. “Loak kalilah kau, kawan!” makinya. Sepotong lappet langsung ditelan.
NB:
Loak = bodoh (bhs Batak)
No comments:
Post a Comment