Thursday, September 19, 2019

HIDUP TIDAK SERIBET OREO..




Sumber: Internet
 Dua lelaki tengah menyeruput kopi racikan kok tong Siantar. Kepulan asap rokok membubung bersama angan-angan. Rafael kembali mengapit cerutu Kuba.

“Kay, ayah mendukungmu menjadi pesepak bola. Hanya…,” kalimatnya tertahan. 

“Kamu atau Keenan harus meneruskan bisnis kita.”

“Aku tidak bisa, Yah.” 

“Bujuklah Keenan setiba di Jakarta. Sampai ia mau!” 

Kalandra menggangguk. 

Rafael membolak-balikkan tiga lembar kertas folio. Tertera sepuluh nama SMA sesuai rayon sekolah anaknya. Mengenai Kalandra, aman. Ia sedang fokus berlatih di sekolah bola Liverpool Academy. Bulan depan laga perdananya.
Rafael pusing. Tidak ingin Keenan menolak sekolah pilihannya. Punggungnya menyandar. Seketika, kursi goyang mengayun.

Terbayang tiga puluh tahun lalu. Kampungnya, Nagori Harapan hanya punya SD inpres. Tiga ruang kelas dipakai bergantian. Sekolah tingkat SMP dan SMU berada di Kota Siantar. Sekitar satu jam ditempuh sepeda ayahnya. Sekolah yayasan Katolik tidak begitu jauh. Namun, SPP-nya lebih mahal daripada segantang beras. 

Suatu kali ayah mengajaknya ke kota. Ia masih kelas lima. Libur selama tiga hari. Murid kelas enam sedang ujian akhir. Sebelum matahari meninggi mereka berangkat. Rafael duduk di boncengan. Tangannya meremas kemeja ayah. Dia senang bisa bertanya ini itu sepanjang perjalanan.

Setibanya di Jalan Merdeka, mereka bersantap bakmie Siantar, langganan keluarga. Enaaak kali rasanya. 

“Ganda, kutitip adikmu ya. Om mau ke Pajak Horas,” pesan ayah pada seseorang. 

“Ashiappp!” balasnya tertawa.

“Itu anak om Hercules,” ayah menjelaskan. 

Keningnya berkerut. Teringat seseorang bertampang sangar namun hobi memasak. Rupanya hobinya mendulang rupiah. Ia membuka kedai pangsit. Terkabar sudah meninggal saat bentrokan antar preman. Kedai itu semakin laris sejak dijalankan oleh anaknya.

Pengunjung masih ramai. Kepulan asap memenuhi ruangan. Rafael keluar. Mencari angin. Ia menatap gedung SMPN-1. Hanya puluhan langkah ke sebelah kiri. Terbayang dua tahun lagi ia bersekolah di sana. 

“Nem-mu harus tinggi dek! Baru bisa bersekolah di situ.” sapa penjaga parkir. 

“Lu musti bersekolah sampai universitas. Besar nanti hidup lu tidak akan ribet.“ Ganda menimpali sambil mengelap meja. 

Sejak itu, Rafael bertekad bersekolah sampai sarjana dan menjadi orang sukses. 

Usahanya berhasil. Ia peraih NEM SD tertinggi. Terbayanglah akan bersekolah di kota.
Sayang, mimpinya buyar. Orangtuanya memohon  keringanan biaya kepada pengurus yayasan Katolik. 

Ayah tidak sanggup menggantikan tugasnya untuk merawat delapan ternak babi mereka. Tiga baru partus. Hasil penjualan babilah penopang  keluarganya. Meskipun kecewa, ia tetap patuh. 

Kembali mengukir prestasi. Ia masuk sekolah unggulan, SMU Plus di Raya. Sebelum pengumuman kelulusan, sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dari Jakarta menawarkan beasiswa sampai tamat. Orangtuanya sangat  bangga. Anaknya menjadi sarjana pertama di Nagori Harapan. 

Ia nekat merintis bisnis furnitur di kota metropolitan. Dulu jatuh bangun, kini Asli Furnitur terkenal sampai ke mancanegara. Ia berharap kelak satu cabang ada di Siantar. 

“Aku memilih SMK Robotica. Nantinya aku akan membuka sekolah robotic.”

“No way! Pilihan ayah pasti cocok untukmu. Sudah kubilang bisnis Asli Furnitur ini sangat pen...ting! Mati-matian kubangun. Cuma kamu harapanku meneruskannya. Mengerti?”

“A….ku tidak mau!”

Plakkk! 

Keenan meringis. Hatinya sangat terluka. Ia mengurung diri berhari-hari. Makanan pun diantarkan ke kamarnya.  

Seminggu kemudian, TV plasma menayangkan “Anak seorang pengusaha furnitur terkenal Jakarta tewas gantung diri.”

Keenan bergidik. “Loak kalilah kau, kawan!” makinya. Sepotong lappet langsung ditelan. 


   
NB: 
Loak = bodoh (bhs Batak)

Sumber: Internet


Mohon maaf jikalau ada kesamaan nama atau lokasi pada tulisan ini. Diikutsertakan dalam grup menulis Bagi Indonesia (BI)

No comments:

Post a Comment