![]() |
Sumber: Internet |
Nindy sedikit membungkuk. Pelan-pelan menyibak gorden putih.
Matanya liar menyapu area kamar VVIP, RSA Bunda Internasional. Lega. Tiada
siapa-siapa.
“Ya Allah, hamba butuh delapan puluh juta rupiah.
Kabulkanlah,” ia merapal doa di bibir ranjang Kalandra.
“Tolonglah, Mi. Pasti kutransfer.”
“Jangan macam-macam. Bayar bunganya dua puluh lima persen.
Hubungilah si Toyib!”
Seminggu opname, Kalandra masih terbaring lemah. Sesekali
mengingau. Wajahnya pucat. Selang infus tersambung ke tangan kirinya. Nindy
mengelus lembut tangan mungil itu.
Hari itu Rabu. Nama Ibu Mira-wali kelas Kalandra-terpampang
di layar selponnya. Ia panik. Kalandra pingsan di sekolah. Keduanya langsung
tancap gas menuju IGD RSA Bunda Internasional.
"Mama…..!” jerit Kalandra saat jarum infus tertancap.
Begitu pula sewaktu pengambilan sampel darah. Nindy memeluknya. Ikutan
menangis. Diagnosa dokter Kalandra mengalami anemia.
Nindy di ruang tunggu. Ia sudah berhitung. Uang yang ada
tidak cukup. Untung saja, penampilannya meyakinkan. Kalandra pun masuk ruangan
rawat inap. Pupuslah rencana membayar cicilan arisan. Bang Toyib pasti
mengejarnya.
Keuangannya seret sejak sporing ke apartemennya. Diam-diam
grup arisan sosialita ditinggalkan. Mami Ajeng, sang bandar murka. Cicilannya
macet. Ia harus mengobral beberapa koleksi mewahnya.
“Nindy bengak!” ia mengutuk diri. Andai saja ia setuju
pembuatan kartu kesehatan untuk kedua anaknya di tahun lalu. Demi gengsi, ia
malah berburu Hermes Birkin terbaru.
Keluarga bergantian menjaga. Soal biaya dirahasiakan. Rafael
belum tiba. Ia bersama Keenan mengikuti pelatihan robotickids. Masalahnya
dengan mami juga rahasia bagi Rafael.
Kreeeeeek….! Nindy melompat. Sambil mengurut dada ia mencoba
tersenyum.
“Bu, silahkan ke ruangan admin,” suster mengingatkan.
Nindy mengangguk.
Lunglai ia keluar dari ruangan admin. Otaknya berpikir
keras. Bagaimana mendapatkan puluhan juta rupiah secepatnya.
Matanya terbelalak. Kamar Kalandra terbuka. Jantungnya
berdegup kencang. Lututnya lemas.
“Mati aku! Bang Toyib!” pekiknya.
Tiba-tiba semua gelap. Terdengar suara-suara menggema.
Tubuhnya ringan melayang ke awan biru bercampur putih. Dari kejauhan dilihatnya
Keenan dan Kalandra meraung memanggil namanya. Rafael bersimpuh, mendekap
bingkai fotonya. Rasanya nyata. “Apakah aku sudah mati?” pikirnya. Air
matanya jatuh.
Perlahan tubuhnya mendekati kedua putranya. Dipeluknya
mereka. Sekuat tenaga ia berbisik kepada Allah, “Aku belum ingin pulang.”
Detik itu juga suara-suara semakin jelas terdengar. Perlahan
Nindy membuka mata. Tampak perawat dan dokter tersenyum. Ada mama memeluk
Keenan sementara Rafael menenangkan Kalandra.
“Ma...ma..” Keenan terisak-isak.
“Alhamdulillah! Sayang, istirahatlah,” Rafael
bersuara.
Nindy terdiam.
“Aku sudah temui mami. Hutangmu sudah dibayar lunas,”
tambahnya.
Nindy menangis. Rafael memeluknya.
Kumandang takbir di televisi menambah haru. Allah
menyayanginya. Permohonan untuk puluhan juta rupiah digantiNya dengan
kesempatan bertobat. Sungguh, tidak ternilai. Nindy berjanji akan membahagiakan
keluarga. Insya Allah!
NB:
Sporing: melarikan diri, pergi dari rumah
Bongak/Bengak: Bodoh
(Bahasa Medan)
Diikutsertakan dalam pelatihan menulis Bagi Indonesia (BI)
No comments:
Post a Comment