Alkisah di suatu masa tersebutlah seorang kaya yang sedang
naas diserang para penyamun di tengah perjalanan. Tubuh babak belur meregang nyawa sedang hartapun habis dijarah.
Malang nian nasibnya belum ada tanda-tanda bantuan. Tampak seseorang sedang lewat hanya melintasinya dengan tatapan iba (meski tanpa selfi untuk sekedar pertanda
simpati). Seorang yang lain justru melipir melipir ke seberang jalan seolah tidak ingin tangan
halusnya menyentuh tubuh yang kian lemas terkuras darah. Ia menyembunyikan wajahnya dari tatapan penuh
harap. Jalanan kembali sepi dengan nyanyian penghuni hutan.
Dug dug dug...terdengar langkah lelah sepatu kuda dari balik
kelokan ujung jalan. Segera tuannya berlari menghampiri tubuh sekarat di tengah
jalan itu. Terdengar erangan lirih ketika tangan orang tersebut berusaha
memberikan pertolongan darurat.
Ah, sepinya jalan ini, pikirnya.
Terlalu jauh untuk meminta bantuan orang yang sebenarnya sedang menonton dari bukit sana.
Tanpa pikir panjang, dia menurunkan beberapa barang dari
punggung kudanya dan menaikkan tubuh lemah terkulai dengan hati-hati dan
berjalan mencari rumah perawatan terdekat dan memastikan pemulihannya ketika
hendak melanjutkan perjalanannya.
Kisah ini diakhiri hanya dengan sebuah jaminan kehadirannya
kembali untuk menanggung semua biaya perawatan dan pemulihan sang korban tanpa
adanya basa basi normatif siapa aku dan siapa dia atau mengapa aku dan bukan
mereka.
”ASALKAN Saudara dapat mengurangi penderitaan orang lain,
kehidupan tidak akan sia-sia,” tulis Helen Keller.
Setiap pagi terselip tantanganNya, maukah engkau melakukanya
(lagi) hari ini?
*telaah bebas kisah orang samaria yang baik hati: Siapakah
sesamaku manusia?
Ditulis saat challenges:
#7days #ARTmazingchallenges #sac3 #sac #expressionoflove
#DNAcoachpreneur
No comments:
Post a Comment